Platform logo
Explore Communities
Philosophy logo
PhilosophyCommunity hosting publication
You are watching the latest version of this publication, Version 1.
article

Musik Sebagai Batasan Semiotika: Perspektif Saussure, Peirce, dan Barthes

01/03/2023| By
Putu Bayu Wikranta Kusuma Putu Bayu Wikranta Kusuma Jaya
289 Views
0 Comments
Disciplines
Keywords
Abstract

Tujuan penelitian ini adalah untuk melihat kesesuaian model-model semiotika dalam upaya menganalisis objek musik. Berdasarkan model semiotika tokoh-tokoh terkait, musik sebagai objek analisis tidak dapat kompatibel dengan model yang dihadirkan oleh Peirce dan Barthes, utamanya dalam ketentuan bagian objek. Dalam model Saussure, ketentuan akan objek adalah referensi di luar model, dan musik sebagai objek analisis tetap dapat dijelaskan dalam definisi signifier berupa suara, dan signified yang menghadirkan konsep. Konsep ini kemudian merujuk pada sistem bahasa dan realitas material yang hadir berdasarkan subjektivitas yang dikehendaki ketika mendengarkan musik.

Preview automatically generated form the publication file.

Musik Sebagai Batasan Semiotika: Perspektif Saussure, Peirce, dan Barthes

Putu Bayu Wikranta Kusuma Jaya

Peneliti Independen

Email: bwikranta@gmail.com

Abstrak

Tujuan penelitian ini adalah untuk melihat kesesuaian model-model semiotika dalam upaya menganalisis objek musik. Berdasarkan model semiotika tokoh-tokoh terkait, musik sebagai objek analisis tidak dapat kompatibel dengan model yang dihadirkan oleh Peirce dan Barthes, utamanya dalam ketentuan bagian objek. Dalam model Saussure, ketentuan akan objek adalah referensi di luar model, dan musik sebagai objek analisis tetap dapat dijelaskan dalam definisi signifier berupa suara, dan signified yang menghadirkan konsep. Konsep ini kemudian merujuk pada sistem bahasa dan realitas material yang hadir berdasarkan subjektivitas yang dikehendaki ketika mendengarkan musik.

Kata kunci: Musik, Semiotika, Saussure, Peirce, Barthes

1. Pendahuluan

Semiotika sebagai alat pemaknaan serbaguna pada objek pilihan yang tak terbatas menjadikannya kajian yang tidak definitif. Dalam konferensi para ahli semiotik sedunia yang dilakukan di Sofia, Bulgaria pada tahun 2014, Kull dan Velmezova (2014: 530) menghadirkan sebuah pertanyaan wawancara terkait permasalahan utama dalam kajian semiotika, dan bagaimana prospek perkembangan kajian ini kedepan. Dalam jawaban tiga puluhan ahli semiotika, hemat penulis, semiotika perlu untuk memastikan terlebih dahulu lingkup dan batasan kajiannya. Ini berkaitan dengan kritik pada kajian semiotika atas pengaplikasiannya pada lingkup kajian yang luar biasa multidisipliner. Berdasarkan konteks di atas, prospek semiotika harus dikembangkan dalam ranah ilmu pengetahuan alam (science), dengan mengaplikasikan kajian semiotika (atau sub kajian) yang lebih mapan pada sistem ketandaan sub kajian semiotika yang masih minim, seperti semiotika fauna (zoosemiotic), dan biosemiotik. Selain mengembangkan semiotika selayak pernyataan sebelumnya, cara lain adalah memberikan batasan pada kemampuan semiotika dalam menganalisis objek kajiannya. Hal ini adalah upaya mengerucutkan, sekaligus memastikan definisi dan lingkup kajian semiotika itu sendiri. Jika hal ini bernada teoritis, maka secara praktis tetap dapat dilakukan, namun seorang harus menerima melakukan analisis semiotika dengan “tidak memiliki perbedaan” dalam menjelaskan selayaknya tidak menggunakan semiotika, atau murni deskriptif. Semiotika fauna adalah contoh yang menarik, yang mana belum dapat dilakukan secara memadai dan kompatibel. Hal ini dikarenakan semiotika fauna menjelaskan fauna (hewan, binatang) dalam lingkup kajian semiotika yang didasarkan pada pemahaman, cara kerja, dan kerangka berpikir seorang manusia. Jika setiap proses semiotika, interpretasi, dan pemaknaan akan realitas di dunia adalah saduran atas subjektivitas setiap individu, tingkatan dan perbedaan tetap dapat muncul, dan secara perlahan mengalami peningkatan pada jenis semiotika yang benar-benar memperlihatkan kemampuan seorang manusia dalam menerima dan menghasilkan makna. Dari sini penulis menentukan musik sebagai objek batasan semiotika. Musik selain didengar saja, telah diinterpretasi secara komprehensif dan mendalam oleh para pendengarnya dari waktu ke waktu melalui berbagai kajian akademik, salah satunya semiotika. Penggunaan kajian semiotika dalam memaknai sebuah karya musik, menghadirkan dua pilihan penelitian yang dapat dilihat dari judul. Pertama, judul penelitian menghadirkan bukan kata “musik”, namun tersebut kata “lirik lagu” atau “lagu” sebagai objek analisisnya. Kedua, judul penelitian menghadirkan kata “musik” sebagai objek analisisnya. Penulis menilai ketimpangan hadir di dalam proses dan paradigma semiotika sebagaimana atas dua contoh ini. Untuk contoh yang pertama, semiotika lirik lagu atau lagu penulis nyatakan harus dijelaskan terlebih dahulu keterpisahan antara kajian semiotika linguistik (teks, bahasa) dengan semiotika musik (musikal-instrumental). Untuk contoh yang kedua, tidak memadai dan kompatibel sedari awal dengan penggunaan kata “musik” sebagai objek analisis semiotika. Untuk argumentasi pada pernyataan pertama, hal ini dikarenakan lirik lagu atau lagu tetap memiliki muatan musik dalam konteksnya sebagai objek analisis, dan muatan musik tersebut harus ditanggalkan, atau memiliki keterpisahan antara teks utuh lirik lagu dan muatan elemen musik yang membentuk sebuah karya musik tersebut “lirik lagu” atau “lagu”. Lirik lagu yang merupakan bahasa melalui elemen musik yang didengar, tidak dapat direpresentasikan dalam bahasa yang ditulis, atau tanpa elemen musik. Elemen musik ini kemudian dapat menjadi sebuah “gangguan” dalam proses pengiriman pesan atau komunikasi yang mana dapat berpengaruh pada emosi dan interpretasi pendengar. Hal ini dijelaskan melalui konsep gangguan proses komunikasi oleh West dan Turner (2018: 11) yang menyatakan adanya gangguan fisik atau gangguan eksternal yang hadir atas stimuli luar pesan yang membuat pesan sulit didengar. Untuk argumentasi pada pernyataan kedua, karya “musik” bukanlah benda material, sebagaimana menurut Parker (dalam Djohan, 2020: 4), musik adalah produk pikiran, elemen vibrasi atas frekuensi, bentuk, amplitudo dan durasi yang belum menjadi musik bagi manusia sampai semua itu ditransformasi secara neurologis dan diinterpretasikan melalui otak.

Dalam upaya analisis untuk objek musik, musik adalah musik sebagaimana dalam definisi yang reduksionis, yakni apapun yang menghadirkan “vibrasi”, atau dapat didengar. Dijelaskan oleh Rupprecht (2006: bagian 1), ‘bahasa’ dalam musik ini dituangkan dalam dua bentuk, salah satunya yakni secara metafora dalam sejenis bahasa tanpa kata-kata, sebuah karakteristik dalam menghadirkan dan membentuk permainan esensial dalam ide musikal (tema, rima, gagasan, dan kunci) dalam wacana yang sedang berlangsung. ‘Bahasa musik’ atau musical language, merupakan suatu ‘ungkapan’ kata-kata yang mengikuti pengaturan dalam musik, mengikuti perannya dalam komposisi terkoordinat. Keabstrakan bahasa dalam musik tidak seperti dalam lirik lagu yang muatan bahasanya lebih langsung dalam konvensi linguistik yang dipahami secara umum dari sekadar bunyi-bunyian serta istilah teknis seperti tangga nada, tempo, kunci, dan sebagainya. Lagu dengan muatan bahasa, dalam pengertian Blakeley (2017), merupakan bagian pendek sebuah musik yang memiliki kata-kata, dengan menggabungkan melodi dan vokal manusia. Bahasa berupa kata-kata dalam lagu ini kemudian disebut lirik. Lagu sendiri secara otomatis telah bermuatan bahasa berupa lirik, kemudian dapat diistilahkan sebagai lirik lagu sebagai bentuk penjelas posisi lirik yang berada dalam turunan istilah dan jenis musik, yakni lagu. Melalui model semiotika yang didasarkan dari perspektif Ferdinand de Saussure, Charles Sanders Peirce, dan Roland Barthes, benda material atau objek menjadi bagian yang layak ditelusuri, utamanya ketika menghadirkan musik sebagai objek analisis. Berkaca pada karya musik, lirik lagu atau lagu, sebagaimana memuat komponen utuh teks bahasa, dapat direpresentasikan secara konkret, dalam kaitannya dengan bahasa dan pemahaman yang menyertai serta kehadirannya yang juga terwujud dalam benda material fisik. Semiotika musik kemudian berinti pada bagaimana seorang pembaca (atau pendengar) memaknai musik dengan tetap menghadirkan konsep dari semiotika linguistik yang memuat bahasa yang dipahami dalam lingkup benda material dan objek fisik. Dalam karya musik sesuai definisi Parker sebelumnya, perlu ditelusuri kehadirannya sebagai objek dalam sebuah model semiotika, karena kurangnya muatan “bahasa” yang membuat musik direpresentasikan secara tidak kompatibel.

2. Metode

Penelitian ini menggunakan studi pustaka sebagai metode pengumpulan data. Data merupakan uraian dan tafsiran hasil pembacaan penulis dari kajian tokoh-tokoh yang representatif dengan konsep dan paradigma terkait penelitian. Analisis data kemudian dilakukan dengan analisis komparatif pada objek terkait. Analisis komparatif menurut Pickvance (dalam Adiyia dan Ashton, 2017), dilakukan terutama untuk menjelaskan dan mendapatkan pemahaman yang lebih baik tentang proses kausal yang terlibat dalam penciptaan suatu peristiwa, fitur atau hubungan biasanya dengan menyatukan variasi variabel atau variabel penjelas. Dalam pembagian empat jenis analisis komparatif oleh Tilly (dalam Adiyia dan Ashton, 2017), penelitian ini masuk dalam analisis komparatif variation finding, yakni bertujuan untuk menghadirkan sebuah ketentuan akan variasi dalam karakter atau intensitas sebuah fenomena dengan menguji perbedaan sistematis di antara beberapa contoh. Dalam kesimpulannya, analisis komparatif menekankan pada penjelasan akan perbedaan dan kesamaan. Konteks penelitian, karya musik akan dihadapkan dalam model-model semiotika dari perspektif ketiga tokoh terkait.

3. Pembahasan

Ferdinand de Saussure mengawali kajian semiotikanya sebagai bentuk kritik pada sistem linguistik terkhususnya linguistik tanda yang menempatkan konteks penandaan bahasa yang bersandingan dengan benda material. Dalam semiotika Saussure, tanda bukan refleksi realitas, melainkan konstruksi realitas, artinya bahasa-bahasa tersebut dapat memiliki wujud nyata dan yang tidak nyata di dunia. Benda-benda fisik nyata merupakan referensi di luar model, dengan pembagian yang hanya meliputi dua bagian utama yakni penanda atau signifier dan petanda atau signified berbentuk model dyadic atau hanya terdiri ada dua unsur. Petanda atau signified adalah konsep, dan penanda atau signifier yang berbentuk sound-image atau suara-gambar (Saussure dalam Elicker, 1997: 2). Saussure tidak menerima pendapat yang menyatakan bahwa ikatan mendasar yang ada dalam bahasa adalah antara kata dan benda (dalam Kaelan, 2017: 184). Objek atau referent (yang telah berada di luar model) dalam semiotikanya tidak menekankan objek dalam pengertian tradisional berupa benda-benda atau materi (matter), melainkan sebuah realitas lanjutan (external reality) penandaan bahasa, atau dapat berupa sebuah gejala komunikasi di mana petanda dan penanda yang dikomunikasikan dalam dialog memiliki gambaran atau pemaknaan yang berbeda dari mereka yang terlibat di dalamnya. Semiotika Saussure meski hanya dengan unsur dyadic, menghadirkan sebuah proses perjalanan di luar model semiotika melalui pemaknaan secara lebih kausal dalam istilah langue dan parole. Konvensi sosial atau fakta sosial bahasa oleh Saussure juga menjadi turunan istilah dan konsep seperti mitos (myth) oleh Barthes, dan simbol untuk Peirce, namun dapat dikatakan proses dialektik yang ditawarkan Saussure lebih mencakup konteks objek penelitian yang dekat dengan kajian bahasa dalam konteks bunyi-bunyian (musik), lalu penjelasan mengenai kode-kode bahasa yang bicara soal struktur fonem, serta lebih inklusif dengan apa yang Saussure katakan mengenai bahasa merupakan fenomena sosial, dan sistem bahasa ditentukan oleh kebiasaan sosial (dalam Kaelan, 2017: 183). Berikut ilustrasinya:

Gambar 1. Model dyadic semiotika Saussure.

Sumber: Daniel Chandler. 1994. Semiotic for Beginners dalam http://visual-memory.co.uk/daniel/Documents/S4B/

Model dyadic ini menyatakan bahwa bahasa sebagai tanda (sign) terdiri dari penanda (signifier) yang menurut Saussure ialah sound-image atau bahasa-gambar yang memiliki petanda (signified). berupa konsep, makna, dan representasi dari signifier. Objek diistilahkan oleh Saussure sebagai referent atau realitas lanjutan yakni petanda yang belum dicapai dalam proses dialektik maupun dalam lingkup pergulatan signifier-signified secara personal. Konsep objek untuk Saussure sekalipun jika mengikuti istilah objek dari semiotika tokoh lain yang bersifat realitas material, dalam semiotika Saussure tidak wajib untuk hadir dalam elemen kebendaan fisik, melainkan dapat hanya bersifat psikologis atau mental. Bagi Saussure, tanda linguistik tidaklah hubungan antara sesuatu benda dan nama, melainkan antara konsep dan pola suara. Pola suara tidaklah sebuah suara, untuk suara dikatakan sesuatu berfisik. Sebuah pola suara adalah impresi psikologis seorang pendengarnya akan sebuah suara, yang mana buktinya diberikan kepada pendengar melalui panca indranya. Suara ini kemudian dapat dikatakan sebuah elemen “material” hanya dalam maksud sebagai representasi impresi sensoris manusia. Pola suara ini dengannya dapat dibedakan dari elemen lain yang diasosiasikan dengan tanda linguistik, dan elemen ini pada dasarnya jenis yang lebih abstrak, yakni sebuah konsep (Saussure dalam Culler, 1986: bagian 1). Membandingkan dengan semiotika Charles Sander Peirce, semiotika Peirce menggunakan model triadic atau terdiri dari tiga unsur dengan pembagian berupa interpretant, representamen, dan referent. Sebagai catatan, representamen kerap juga ditulis sebagai sign. Objek atau referent dalam semiotika Peirce memiliki definisi sebagai sesuatu yang diketahui telah ada, sesuatu yang dipercaya secara bentuk telah ada atau diharapkan ada, koleksi pada benda-benda ada tersebut, atas diketahuinya kualitas atau relasi atau fakta[…], dalam kata lain, objek dapatlah hampir segala sesuatu, dan apa yang membuatnya menjadi objek dalam tanda adalah fakta bahwa ia direpresentasikan sedemikian rupa oleh tanda (Peirce dalam Liszka, 1996: 21). Melalui definisi kebendaan yang luas, objek dalam model Peirce kemudian dapat berarti apa saja, namun dalam contoh yang umum, model semiotika Peirce akan digunakan dalam analisis pada objek dan kebendaan fisik realitas material. Berikut ilustrasinya:

Gambar 2. Model triadic semiotika Peirce.

Sumber: Peirce, C. S. 1974. Collected Papers. Oxford University Press.

Dalam contoh musik, objek cenderung mendapatkan tempat analisis yang kurang memadai jika dihadapkan dengan semiotika model triadic Peirce, terkhususnya dalam menempatkannya pada bagian objek dan referent. Untuk sebuah musik sebagai objek analisis, dapat dihadirkan musik jenis apapun, sebagaimana ia dipahami sebagai musik, yakni dapat didengar, elemen vibrasi fisika dan kosmos, layaknya definisi oleh Parker sebelumnya. Selain dari definisi ini, musik juga harus dibedakan dari perkembangan istilahnya yang tersebut menjadi lagu, atau lirik lagu, sebagai pembagian definisi dan istilah. Dengan demikian, musik yang diuji di sini adalah karya musik yang berjenis sonata (to sound), atau instrumental yang tidak bermuatan lirik dan vokal manusia. Hal ini karena jika menggunakan musik yang memiliki lirik, tidak akan menghadirkan masalah apapun dalam model semiotika Peirce, yang mana lirik-lirik tersebut adalah bahasa yang dapat ditempati dalam bagian objek, sebagai bahasa atas benda fisik dan realitas material atau teks bahasa yang memiliki makna. Musik, sebagaimana memiliki “bahasa”, adalah dikonvensikan, dan direpresentasikan “secara mendekati” melalui komposisi partitur kertas musik terkoordinat layaknya definisi Rupprecht. Seorang dapat membayangkan musik klasik, seperti Clair de Lune oleh Debussy, hingga musik modern seperti Dupree’s Paradise oleh Frank Zappa. Dalam contoh yang sangat reduksionis, musik juga dapat hadir tidak dari instrumen atau alat musik yang dimaknai secara normatif, yakni “musik” dalam definisi yang tidak mengikuti kolektivitas dewasa ini, (sebagaimana kolektivitas itu sendiri juga sejatinya berpolemik) seperti suara deburan ombak di laut, suara gerak angin, siulan manusia, suara hujan, dan suara-suara primordial lainnya. Bagi penulis, ini semua adalah musik, berbeda dan sekaligus sama. Berbeda dalam perkembangan budaya kita dalam memaknai sebuah definisi dan penerimaan musik. Sama dalam artian yang telah dijelaskan dalam definisi-definisi paling mendasar, bahwa semua ini adalah elemen vibrasi yang dapat didengar oleh manusia. Dengan demikian, pertanyaan sehari-hari mengenai preferensi musik seseorang akan lebih memadai jika dijawab secara spesifik, atas pergulatan definisi-definisi di atas, serta perkembangan jenis musik yang mempengaruhi peristilahan karya musik sendiri (lagu, instrumental, dsb).

Sebagai pengujian dalam model-model semiotika tokoh terkait, penulis akan mengambil salah satu dari contoh di atas, yakni suara deburan ombak. Ini adalah representamen dalam bahasa tulisan “suara deburan ombak” dan bahasa lisan suara deburan ombak, lalu interpretant memunculkan konsep berupa suara deburan ombak. Objek kemudian dapat dirujuk sebagai fisik nyata (dari) ombak. Tapi jika objek ditulis dan digambarkan sebagai “suara deburan ombak”, dia hanya hadir dalam triadic secara teoritis dalam rujukan atas representamen, karena dalam praktisnya tulisan dan lisan “suara deburan ombak” tidak dapat kompatibel dengan bagaimana suara itu hadir, terlebih bagaimana suara deburan ombak dalam realitas representasi manusia yang menerima fenomena tersebut. Objek yang dihadirkan kemudian adalah representasi benda material yang dihadirkan dari vibrasi bunyi, yakni kembali pada teks, teks yang ditulis di kertas, dan turunan representasi seterusnya. Suara karena ia merupakan bunyi-bunyian vibrasi tidak berwujud kasat mata, dapat tidak sesuai jika pun bisa diproses dalam teknologi yang menyatakan denyut, level, atau frekuensi matematis “suara deburan ombak”. Hal ini tidak bisa disebut secara murni berupa suara deburan ombak, melainkan representasi gambar-gambar dan kebendaan dari suara deburan ombak. Suara deburan ombak tersebut dapat kemudian dirujuk menjadi bentuk representamen dalam penyampaian yang berbeda, katakan manusia yang memungkinan untuk meniru suara tersebut. Suara deburan ombak tersebut juga bisa saja bukan suara sejati yang berasal dari fenomena yang dipahami, melainkan dari hal-hal lain yang dapat membuat seseorang mendengarnya sebagai demikian, layaknya teknik foley dalam film. Bahasa yang direpresentasikan benda-benda material konkret tidak akan memiliki isu-isu di atas dengan contoh seperti benda pohon, buku, meja, anjing (dalam batasan tertentu seperti pergulatan spesifikasi kebendaan yang dirujuk). Peirce mengembangkan sebuah teori tanda-tanda secara umum, berlawanan dengan teori ketidakpastian (subjektivitas) bahasa-tanda oleh Saussure. Sekilas dari latar belakang keilmuan Peirce, yang merupakan berparadigma pragmatisme dan logika, sedangkan Saussure ialah seorang linguis yang mengembangkan sistem linguistik modern secara komprehensif, berangkat dari sistem tanda semiotika yang menurutnya hanyalah satu dari sistem tanda bahasa lainnya di kehidupan manusia. Dengan kata lain kembali mengutamakan sebuah bentuk subjektivitas yang kontekstual. Musik adalah sesuatu yang didengar dan tidak berbentuk dalam kasat mata, jikapun dengan bahasa musik atau deskripsi yang tertulis dalam representasi melalui pondasi benda fisik, ia tidak menjadi keutuhan benda yang berdiri sendiri karena menjadi bagian dari benda atau media lain yang menopang representasi musik dalam objek.

Membandingkan dengan kajian semiotika Roland Barthes, meski mengadopsi unsur-unsur semiotika Saussure, Barthes tetap membawa isu yang serupa dengan Peirce, di mana semiotika Barthes masih banyak menyinggung unsur kebendaan konkret. Hal ini cukup terlihat dari pembahasannya dalam buku kumpulan esai Mythologies, yang mengkaji mengenai budaya populer dari tempat asalnya Prancis. Budaya ini meliputi objek makanan-minuman, mainan, keperluan rumah tangga, seni pertunjukkan, dan arsitektur, yang diasosiasikan oleh Barthes sebagai bentuk kekuatan budaya borjuis dan kapitalis di Prancis, sekaligus menjadi bentuk kritiknya melalui semiotika. Semiotika Barthes tetap menggunakan konsep signifier, dan signified atas pengadopsian dari model dyadic semiotika Saussure, namun memiliki tingkatan lanjutan dari model penanda dan petanda itu, yakni myth atau mitos. Mitos ini memiliki banyak penjelasan dari Barthes. Beberapa diantaranya, mitos ini dikatakan oleh Barthes dalam bukunya Mythologies (1972: 107), sebagai sebuah tipe bahasa. Dalam hemat penulis, berdasarkan penjelasan Barthes atas myth di sumber yang sama, adalah hal natural yang mengosongkan realitas dan menampilkan dirinya sebagai bahasa-bahasa tak terpolitisasi kompleksitas manusia. Di sisi lain mitos bertendensi hadir sebagai konvensi nilai-nilai sosial. Mitos ini memberikan makna pada suatu bentuk, dan bentuk ini biasanya tidak memuat apapun, atau kosong. Namun kembali, mitos ini hadir menjadi tingkatan kedua dari tingkatan pertama yang tentu tidak bentuk kosong atau bentuk yang tidak memuat apapun. Mitos ini menjadi upaya Barthes untuk melihat makna bahasa yang lebih dalam tingkatnya, disebutnya sebagai pemaknaan yang diterima secara kolektif. Terdapat dua tingkatan dalam model semiotika Barthes, tingkat pertama disebutnya denotatif dan tingkat kedua disebutnya konotatif. Tingkat pertama dengan tanda denotatif terdiri atas penanda dan petanda. Akan tetapi, pada saat yang bersamaan tanda denotatif juga adalah penanda konotatif yang merupakan unsur material, seperti contoh, hanya jika seseorang mengenal tanda ‘singa’, barulah konotasi seperti harga diri, kegarangan dan keberanian menjadi mungkin. (dalam Kaelan, 2017: 204-205). Dalam contoh lain, seperti tanda ‘kaki’, yakni dengan konotasi seperti perbudakan, inferioritas, kenajisan, berikut ilustrasinya:

Gambar 3. Taraf Bahasa (tanda semiotika) Barthes.

Sumber: Peter Gonsalves, berdasarkan Roland Barthes, The Fashion System (Berkeley: University of California Press, 1990), 27-31.

Model semiotika Barthes diistilahkan oleh dirinya dalam Mythologies (1972: 113-114) dengan “taraf bahasa” (ilustrasi di atas bukan berasal dari buku Barthes sendiri, untuk kemudian penulis pilih atas alasan kemudahan). Taraf bahasa oleh Barthes memiliki dua tingkatan, yang disebutnya untuk tingkatan pertama (berwarna) dengan makna, dan untuk tingkatan kedua (tidak berwarna) dengan bentuk. Makna dapat dilihat sebagai istilah terakhir dari taraf linguistik, sekaligus menjadi istilah awal untuk taraf mitos. Signified disebutnya konsep. Sign muncul dalam tingkatan pertama sebagai sesuatu yang bersifat ambigu, dan ketika berlanjut dalam tingkatan kedua ia tidak bisa disebut sign kembali dan berubah menjadi simbol, karena telah terjustifikasi. Bagian paling bawah atau mitos merupakan gabungan dari dua bagian taraf bahasa sebelumnya, dan disebut signifikansi. Menurut Barthes, dua signifier pada tingkatan pertama, bagian signifier adalah ambigu, sedangkan SIGNIFIER (huruf kapital untuk memudahkan perbedaan istilah) telah dimengerti dalam pandangan mata, dan memiliki realitas sensoris, berbeda dengan signifier yang bersifat mental. Pada tingkatan pertama, makna telah komplit atau selesai entah berdasarkan pengetahuan, memori, ide, fakta, dan keputusan. Namun ketika berlanjut menjadi tingkatan kedua, makna pergi mengosongkan dirinya dan hanya menjadi huruf-huruf, atau kata, tanpa ikatan historis pemaknaan terkait apapun seperti tingkatan pertama. Meski demikian, pada level kedua ini akan bertemu paradoks dan perubahan abnormal dari makna menjadi bentuk. Kata “singa” misalnya pada tingkatan pertama membawa makna yang kaya, pada tingkatan kedua ia berubah menjadi nilai-nilai yang menunggu makna baru untuk mengisi kata “singa”. Dalam argumen Barthes mengenai SIGNIFIER tingkat kedua yang membutuhkan realitas sensoris atau objek yang dapat dilihat, untuk objek dapat dilihat harus berbentuk benda fisik dari realitas material, berada pada kendala yang sama dengan unsur objek atau referent dari Peirce, ketika dihadapkan dengan contoh musik, suara deburan ombak, yakni bunyi-bunyian vibrasi yang tak kasat mata. Bagian SIGNIFER di tingkat kedua model semiotikanya, menurut Barthes perlu memiliki realitas sensoris untuk dapat menjadi cukup rasional. Semiotika Barthes pada beberapa titik menjadi bertolak belakang dengan sifat dinamis dan unsur sewenang-wenang pemaknaan bahasa dalam kajian semiotika Saussure, sebagaimana menurut Saussure sebuah hubungan signifier dengan objek tidak bisa benar-benar dijelaskan secara rasional. Dalam argumen penulis, semiotika Barthes serupa dengan Saussure untuk kemudian dinilai lebih mendalam, tapi ada alasan untuk Barthes tidak banyak menyinggung musik dalam kajian dan karyanya terkhusus ketika dihadapkan pada tingkatan kedua taraf bahasa model semiotikanya. Dalam pendapat Chandler (2002: 224), Barthes telah berfokus pada tanda gambar serta tanda linguistik, terlebih pada konteks periklanan, fotografi, dan media audio-visual. Senada oleh Nöth (1995: 204), Barthes yang dikenal sebagai kritikus sastra Prancis lebih memiliki ketertarikan pada arsitektur, makanan, mobil, dan busana asal daerahnya. Berdasarkan hal ini, dapat dikatakan bahwa semiotika Barthes lebih tepat digunakan untuk menganalisis elemen-elemen visual atau kebendaan yang lebih bertanggung jawab dari segi fisik atau materi yang konkret.

4. Kesimpulan

Pengembangan atas kajian semiotika perlu dilakukan tidak hanya dengan upaya berbagai objek analisis baru, atau pengembangannya ke ranah multidisipliner, melainkan memberikan batasan atas fungsi pemaknaannya pada objek yang dianggap familier. Melihat banyaknya ahli semiotika beserta unsur kajian mereka yang beragam, penggunaan kajian semiotika oleh Ferdinand de Saussure pada analisis karya musik menjadi “sifat yang paling mending”, sebagaimana mengaplikasikan musik dalam model dyadic Saussure tidak mematahkan konsep model yang dihadirkan triadic Peirce, dan taraf bahasa Barthes. Namun hal ini tidak membantu banyak, sebagaimana model semiotika tidak selalu dapat dirujuk sebagai komponen wajib yang dihadirkan dalam melakukan analisis semiotika. Model tersebut hanya membantu untuk menghadirkan gambaran dan istilah secara lebih mudah. Seseorang dapat menggunakan kajian semiotika dengan menanggalkan elemen yang tidak membantu dalam paradigma, proses analisis, serta hasil analisis. Objek penelitian berupa musik, tetap dapat diinterpretasi berdasarkan pengalaman personal, nilai yang dianut, dan kerang-kerangka subjektivitas terkait. Musik sebagaimana tidak dapat dilihat, menghadirkan mekanisme penerimaan representasi dunia kepada manusia secara fenomenologis. Interpretasi atau pemaknaan yang dihasilkan atas musik berdasarkan faktor-faktor tersebut di atas, merupakan proses akuisisi atas konsep yang berada dalam sistem bahasa di luar bahasa musik. Berbeda dengan jenis musik yang memiliki muatan linguistik yang lebih konkret (lagu, lirik lagu), objek analisis tersebut dapat diterima dan menghasilkan makna berdasarkan konvensi bahasa sehari-hari yang dipahami.

DAFTAR PUSTAKA

Adiyia, Michael, dan William Ashton. 2017. Comparative Research. Brandon University.

Barthes, Roland. 1972. Mythologies. Terjemahan oleh Annette Lavers. Britania Raya: Jonathan Cape Ltd.

Blakeley, Sasha. 2017. What is a Song?- Definition & Examples dalam https://study.com/academy/lesson/what-is-a-song-definition-examples.html

Chandler, Daniel. 2002. Semiotics The Basics. London: Routledge.

Culler, Jonathan D. 1986. Ferdinand de Saussure. Amerika Serikat: Cornell University Press.

Djohan. 2020. Psikologi Musik. Yogyakarta: Kanisius.

Elicker, Martina. 1997. Semiotics of Popular Music. Germany: Laupp & Göbell.

Kaelan. 2017. Filsafat Bahasa Semiotika dan Hermeneutika. Yogyakarta: Paradigma Press.

Kull, Kalevi; Velmezova, Ekaterina. 2014. What is the main challenge for contemporary semiotics?. Sign Systems Studies, 42(4), 530–548.

Liszka, James Jakob. 1996. A General Introduction to the Semiotic of Charles Sanders Peirce. Bloomington: Indiana University Press.

Nöth, Winfred. 1995. Handbook of Semiotics. Amerika Serikat: Indiana University Press.

Rupprecht, Philip. 2006. Britten's Musical Language. Britania Raya: Cambridge University Press.

Turner, Lynn H dan Richard West. 2018. An Introduction to Communication. Britania Raya: Cambridge University Press.

Figures (3)

Publication ImagePublication ImagePublication Image
Submitted by1 Mar 2023
User Avatar
Bayu Wikranta
Udayana University
Download Publication

No reviews to show. Please remember to LOG IN as some reviews may be only visible to specific users.